KELUARGA PENGARANG

KELAS MENULIS RUMAH DUNIA

Posted on: June 27, 2007

Oleh Gola Gong

245.jpgSeorang penulis harus memiliki kerendahan hati, dan seorang calon penulis harus belajar memiliki sikap ini. Namun sikap yang fatal bagi sang calon penulis adalah sikap cepat putus asa. (Ismail Marahimin, Menulis Secara Populer, Pustaka Jaya, 1994) ***
Setiap 3 bulan sekali, di Rumah Dunia dibuka “kelas menulis”. Sudah berlangsung sekak Januari 2003. Pada 9 Januari 2005, angkatan kelima mulai berlangsung. Januari 2007, tidak terasa, kelas menuils angkatan kesembilan digulirkan. Beruntunglah peserta kelas angkatan kesembilan, karena pemateri tamunya; Arswendo Atmowilo, Naning Pranoto, dan Sides Sudaryato. Agustus nanti, seusai ”Ode Kampung 2: Temu Komunitas Sastra se-Nusantara”, angkatan kesepuluh dibuka.

poto_si_aduy.jpgPEMATERI
Tapi, semua angkatan memiliki keberuntungannya sendiri. Pemberi materinya selain saya yang tetap, juga diselingi Toto ST Radik (puisi), Firman Venayaksa (Presiden Rumah Dunia sejak 2006) dan dari pihak luar; seperti Prana Badrun, dosen Sastra dan Bahasa Matlaul Anwar, Pandeglang tata bahasa), Iman Nur Rosyadi (jurnalistik/Sinar Harapan), Abdul Malik (jurnalistik/Redpel Radar Banten), Wan Anwar (dosen Sastra Untirta Serang), bahkan untuk memompa semangat mereka dalam menulis, saya mendatangkan penulis sungguhan dan penerbit bukunya.

Pada 2003 – 2004, para penulis yang sudah datang memberikan stimulans lewat proses kreatifnya adalah Helvy Tiana Rossa, Ahmadun Yosi Herfanda, Fahri Asiza, Pipit Senja, Ali Muakhir, Chavcay Saefillah, Hudan Hidayat, Asma Nadia, Hilman Lupus, Boim Lebon, dan Gusur. Tahun 2006 giliran Akmal Naesral Baser, Soni Farid Maulana, Jamal D. Rahman, Gus tf sakai, Kurnia Efendi, Nanang Supriyadi, Sugiyanto, Fira Basuki, FX Rudi Gunawan, dan Halim HD serta Herry Latief pun sempat mampir di tahun 2005. Di level penerbit ada Dar! Mizan, Gema Insani Press, Gramedia Pustaka Utama, Akoer, Ufuk, Senayan Abadi, Cakrawala, Gagas Media. dan Zikrul Hakim.

surga.jpgDalam perjalanannya, ini sangat luar biasa. Pada angkatan ketiga, sudah bisa saya sisipkan di setiap pertemuan, testimoni dari para alumni kelas menulis sebelumnya, yang tulisan fiksi (cerpen) dan nonfiksinya (jurnalistik) dimuat di dua koran lokal; Radar Banten dan Fajar Banten, serta beberapa media masa nasional (majalah Aneka Yess, Annida, dan Mata Baca). Peserta angkatan pertama dan ketiga sudah berhasil membuahkan karya; seperti Qizink La Avia (Gerimis Terakhir, Dar! Mizan, 2004). Qizink sekaragn pengasuh rubrik sastra dan budaya di Radar Banten. Sebelumnya, Najwa termasuk di dalam 7 orang peserta kelas menulis angkatan pertama, yang bergabung dengan saya, Toto ST Radik, dan Tias Tatanka di antoloji cerpen “Kacamata Sidik” (PT. Senayan Abadi, 2004). Kini Ibnu Adam Aviciena (Bidadariku Di mana?, Beranda Hikmah) dan Firman Venayaksa (Sayap-sayap Ababil, Mandar Utama Tiga) menyusul Qizink dengan novelnya.. Aji Setiakarya – angkatan ketiga – sudah menerbikan kumcer ”Padi Memerah”. Dia sekarang jadi PJ Sastra dan Jurnalistik Rumah Dunia. Aji sesekali memberi materi juga di kelas menulis, walaupun tugas utamanya mengajari anak-anak kecil mengarang, membantu Tias Tatanka di ”wisata tulis”. Endang Rukmana – peraih Unicef Award 2004 kini kuliah di Fakultas Sejarah UI – lebih luar biasa lagi. Peserta kelas menulis angkatan pertama ini sudah menelorkan 5 novel di GagasMedia. Minggu 17 Juni 2007 lalu, Endang datagn memberi motivasi ke peserta kelas menulis angkatan kesembilan.

tiasdongeng1.jpgKETRAMPILAN BERBAHASA
Kelas Menulis Rumah Dunia awalnya hanya diperuntukan bagi pelajar dan mahasiswa agar bisa mandiri setelah jadi sarjana nanti. Tapi sejak 2005, guru, karyawan, bahkan pedagang pun ikut serta. Saya tidak tega melarang mereka yang ingin belajar menulis. Di kelas menulis ini, saya memberikan wawasan, bahwa menulis (wartawan atau pengarang) bisa dijadikan profesi terhormat, layak, dan cerah. Dari kelas menulis ini kelak akan muncul satu generasi baru di Banten yang cerdas dan kritis serta sanggup menuangkan gagasan-gagasannya lewat tulisan. Tapi, pesertanya terbatas. Setiap angkatan hanya berkisar 25 sampai 30 orang. Setiap calon peserta harus memberikan (contoh) karyanya; fiksi (cerpen/puisi) atau laporan jurnalistik (feature/news/essay). Dari contoh karya ini, calon peserta disaring. Bagi yang lolos, menunggu persaratan lain, yaitu harus ikhlas menyumbangkan sebuah buku kesayangannya ke Rumah Dunia. Pendidikannya sendiri tidak dipungut bayaran alias gratis.

Nah, saat kelas menulis dimulai, pada pertemuan pertama, para peserta harus maju satu persatu, memperkenalkan dirinya; mulai dari nama pemberian orang tua, tanggal lahir, motivasi ikut kelas menulis, buku-buku apa saja yang pernah dibaca, tertarik ke sastra atau jurnalistik, ingin jadi wartawan atau pengarang. Juga yang terpenting, mereka harus menyebutkan nama pena serta menjelaskan filosofinya. Dengan cara seperti ini, saya mencoba mengamati atau mengindentifikasi wawasan, emosi, serta pengelolaan bahasa atau pemilihan kata si peserta saat berbicara. Ismail Marahimin dalam “Menulis Secara Populer” (Pustaka Jaya, 1999) menulis, bahwa ada ketrampilan berbahasa yang perlu dikuasai untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain; yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan cara seperti ini, kelak selain mahir menulis, mereka juga mahir berbicara di depan orang banyak.

Saya juga menyarankan ke mereka, jangan buru-buru kepingin disebut penulis. Maksud saya, penulis dalam arti sesunguhnya. Berkarya, mengirimkan karyanya ke majalah, koran, dan penerbit, lalu berharap diterbitkan dan dapat honor. Kadang, suka ada para calon penulis yang langsung duduk di depan komputer. Menulis, tapi tidak jadi-jadi. Di Rumah Dunia, yang pertama saya sarankan, mereka banyak membaca karya fiksi orang lain dan terus mengisi jiwa mereka dengan banyak mengamati sekeliling supaya bisa peka (ranah afektif). Isi ceruk jiwa kita. Ismail Marahimin menulis lagi, bahwa hubungan membaca dengan menuilis cukup erat. Untuk dapat menulis, kita harus banyak membaca. Membaca adalah sarana utama menuju ke ketrampilan menulis. Membaca memberikan berbagai-baga ‘tenaga dalam’ (versi saya referensi) yang sangat dibutuhkan oleh penulis. Seperti dalam film-film silat, pesilat yang memounya tenga dalam tampak lebih hebat dari pesilat yang kosong. Ibarat mobil, jika tidak ada bensinnya, tentu mogok. Begitu juga dengan penulis, jika tidak suka membaca, berarti jiwanya akan kosong. Itu akan tercermin dari karya-karyanya yang tidak berjiwa.

Pertemuan kedua, selama sebulan, peserta akan diberikan marteri juralistik. Terutama unsur berita (5W + 1H; where, when, what, who, why, dan how). Metode ini sangat cocok untuk diaplikasikan ke dalam pernulisan fiksi. Misalnya saja unsur “where”; misalnya digunung, di rumah, di pasar. Semua peserta harus mencoba menuliskan imajinasinya tentang tempat-tempat tersebut. Dalam wilayah fiksi, ini dikategorikan setting atau latar tempat. Unsur “who”, peserta bisa menuliskan tentang karakter tokoh apa dan siapa. Setiap pertemuan, selain dikenalkan pada teori, selebihnya adalah praktek, yaitu menulis atau tepatnya mengarang.

PRAKTEK
Di bulan kedua, saya mengenalkan fiksi (prosa/puisi) selama 4 kali pertemuan. Kelas Menulis, tentu pesertanya harus terus berlatih menulis untuk mempraktekkannya. Ini tentu bertahap. Teori saja tidak cukup. Mengutip konsep Dave Meier; accelerated learning, belajar dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri. Di setiap pertemuan, saya menyuruh mereka menulis tentang berita, feature, sinopsis cerita pendek/novel, setting (waktu dan tempat), karakter, dialog. Teknik menulisnya, saya ajarkan yang konvensioal dulu. Lewat cerpen realis. Plotnya bergerak atau linear, belum banyak plot. Untuk plot dengan alur mundur atau flashback, belum dulu. Setiap minggu, mereka diberi pekerjaan rumah atau praktek menulis dan mengarang. Bisa laporan jurnalistik, hardnews, featrure (berita dan profil) dan cerpen. Pada minggu berikutnya, pekerjaan rumah itu harus dikumpulkan dan didiskusikan.

Biasanya praktek menulis ini bersinergi dengan Klab Diskusi Rumah Dunia, yang hampir setiap Sabtu mengadakan diskusi; pendidikan, budaya, launching novel, bedah buku, proses kreatif penulis, dan debat terbuka calon pemimpin di Banten. Pertunjukan seni/film pun jadi bahan tulisan mereka. Hajatan seperti “Ode Kampung 2: Temu Komunitas Sastra se-Nusantar” adalah ajang mereka menimba ilmu dari luar Banten. Para penulis seperti Ahmadun, Saut Situmorang, Acep Zam Zam Noor, Binhad Nurrohmat, Kurnia Efendi, Maman S Mahayana, Wowok Hesti Prabowo, Johi Ariadinata, dan masih banyak lagi.

Para peserta kelas mneulis harus memiliki kesabaran untuk jadi penulis. Saya memberi tahu mereka, dalam rentang waktu dua tahun, harus terus berlatih menulis, menulis, dan menulis. Di sela-sela itu, kalau sudah ada yang bagus, saya menyarankan mengirimkannya ke media masa. Jadi, saya tidak menyarankan pada para calon penulis, yang ujuk-ujuk duduk di depan komputer, langsung menulis dan mengiimkannya ke media massa . Harus ada proses revisi, dibacakan ke teman-temannya. Harus mengisi jiwa kita dengan banyak membaca dan bepergian atau mengamati sekeliling.

Kepada alumni kelas pertama, saya sering menyuruh mereka pergi berpetualang, keluar dari rumah untuk melihat dan merasakan banyak hal. Itu sangat perlu agar tubuh dan jiwa kita tertempa serta tidak kosong melompong seperti “tong kosong nyaring bunyinya”. Berpikir (kognitif) terus lewat membaca tidak baik juga. Harus ada ranah afekif (merasakan) dengan cara bepergian ke tempat-tempat yang baru, tapi tidak mesti jauh. Dengan begitu, calon penulis seperti orang yang sedang berguru di padepokan atau shaolin temple. Mereka berlatih keras dengan mengisi tenaga dalamnya, sehingga ketika duduk di depan komputer, semua (para calon penulis) tahu apa yang akan dituliskannya, termasuk penggunaan tanda bacanya, bagaimana menggunakan tanda baca titik, koma, tanda seru, tanda tanya, dll. Jack Lamota alias Lawang Bagja, di awal 2007, kini pergi jauh jadi TKI di Ruwais, Dubai. Belum genap setengah tahun, cerpen-cerpennya yang beraromakan pemderitaan tnaga kerja Indonesia di Timur Tengah bermunculan. Satu cerpennya sudah dimuat Radar Banten. Saya sedang menyemangati Lawang untuk membuat kumcer tentang tnaga kerja Indonmesia. Ibnu Adam Aviciena sejak Februari 2007 kuliah S2 di Leiden, Belanda. ”Saya sedang menulis fiksi berlatarkan Belanda,” kata Ibnu lewat email.
KOMITMEN
Saya sudah berkomitmen untuk terus mendampingi mereka. Jika saya melihat ada karya dari peserta kelas menulis yang bagus tapi perlu direvisi, saya langsung merapatkan diri saya ke dia. Pokoknya, harus turun langsung. Tias juga membntu membaci cerpej-cerpn peserta kelas menulis. Bahkan saya membikinkan kategori ”Kelas Menulis” di situs www.rumahdunia.net. Itu semua stimulus yang saya bangun di kelas menulis; teori dan praktek terus beriringan.

Tak jarang, saya membantu merevisi karya-karya mereka. Dengan cara itu, mereka bisa mengenali di mana letak kekurangannya. Biasanya saya bilang, “Sekarang kamu kursus privat, deh, dengan saya!” Saya sediain waktu Sabtu dan Minggu, di sela-sela waktu luang. Bisa pagi, kapan saja. Kalau lelaki, saya suruh tidur di RD. Kadang pagi-pagi, belum mandi juga, saya sudah stand by di RD. Saya memberi masukan, bahkan, langsung membuka komputer. Karyanya saya baca, saya koreksi. Saya kasih saran, sebaiknya begini, begitu. Learning by doing. atau try and error. “Minggu depan revisiannya harus jadi!” kata saya. Para relawan Rumah Dunia yang bermarkas di lantai dua rumha saya; Langlang Randhawa, Rimba Alangalang, Muhzen Den, Reinhard Renn, Awi, dan Roy mendapatkan fasilitas ini.

PRESTASI
Untuk kelas menulis angkatan pertama, Qizink, Ibnu, Wangsa, Endang, Aad, Ade Jahran, Najwa Fadia. ternyata hanya butuh waktu setahun. Mereka sudah mahir menulis essay, cerpen, dan novel. Qizink kini wartawan Radar Banten. Aji Setiakarya coordinator suplemen “Radr Yunior” di Radar Banten. Endang Rukmana menyabet “Unicef Award 2004” atas essaynya yang menyabet juara pertama lomba essay UNICEF dengan tema anak Indonesia . Aad masuk di 20 besarnya. Kemudian pada IKAPI Book Fair 2004, essay Aad tentang pentingnya membaca menggondol juara pertama. Aad pada 2006 juga menyabet penulisan esay tentang tentang pemuda yang diadakan Kantor Menpora. Tercatat juga Yuanita Utami, peserta angkatan kelima, menruskan jejak Endang Rukmana. Yuanita menyabet ”Unicer Aaward 2006” dan Alfy Syahrani, angkatan ketujuh, menggondol penulisan essay tentang perpustakaan yang diselenggaran Perpusnas.

Di kelas menulis angkatan ketiga juga muncul 4 nama; RG Kedungkaban, Aji Setiakarya, dan Rimba Alangalang. Sedangkan di angkatan kelima hanya satu nama yang muncul; Asri Surtayati, pelajar SMA Kavling Cilegong, yang cerpen-cerpennya muncul di majalah Aneka Yess!

PESERTA ISTIMEWA
Kadang muncul rasa lelah di dalam diri saya atau bosan mendera. Atau terganggu pertanyaan, ”Bermanfaatkan kelas menulis Rumah Dunia ini?” Biasanya itu saya obati dengan menerima undangan sebagai pembicara di tempat lain. Dengan cara begitu, selalu ada suasana baru.
Atau semagnat itu muncul lagi ketika datang peserta musiman dari luar Banten; Jakarta, Bandung, Depok, Subang. Mereka membaca informasi ini dari koran atau majalah yang memuat kegiatan Rumah Dunia.

Sepertyi ditahun 2005. Sebuah keluarga dari Palembang datang ke Rumah Dunia. Mereka menitipkan putrinya; Wanja Al-Munawar, untuk ikut di kelas menulis angkatan kelima. Wanja cuti kuliah dari Universitas Sriwijaya selama satu semester. Seusai mengikuti kelas, dia juga masih sempat bolak-balik ke Rumah Dunia untuk iukt writing camp, kegiatan puncak dari kelas menulis.

Selama 9 angkatan ini, writing camp baru dua kali diadakan. Saya mengenalkan langsung praktek mnentukan point of view (sudut pandang). Pematerinya selain saya, Firman Venayaksa, Toto Sradik, juga pernah mengundang Irfan Hidayatullah pada 2006 lalu. Dengan writing camp, saya berharp para peserta kelas mneulis bisa mengeluarkan kemampuan panca indranya untuk membaca alam, karena disanalah ide itu berada.

Juga ketika seorang penjual roti bernama Shodik (sekarang memakai nama pena ’Reinhad Renn’) datang ke Rumah Dunia dari Tangerang dengan mengayuh sepeda di akhir pekan. ”Saya ingin belajar menulis,” katanya bermandikan keringat. Atau di hari lain, ada seorang perempuan anak pengusaha di Banten, yang ingin menumpahkan ketertekananbatinnya dengan bwlajar menulis. Juga para guru yang minta diajari menulis. Tapi jauh melebihi itu semua, ketika tiba-tiba saja putri pertamaku; Nabila Nurkhalishah Harris menyelesaikan novel pertamanya; Beautiful Days, serta diterbitkan oleh Dar! Mizan pada Februari 2007 lalu. Jikas sudah begini, saya tidak akan menghentikan kelas menulis Rumah Dunia. Jika saya sakit atau Allah memanggil saya untuk pulang, saya yakin, generasi Firman Venayaksa serta para alumni kelas menulis akan mneruskannya, karena ”sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain”.

OPERASIONAL
Perlakuan saya pada mereka yang mahir menulis, sambil berjalan mulai memperkenalkan teknik penulisan lain serta target pembaca yang harus dibidik, sekaligus mempraktekkannya. Saya langsung mengajak mereka berlatih dengan tema-tema yang beragam. Mulai dari tema cinta, ktitik sosial, politik, dan human interest. Teknik penulisannya pun mulai dari realis, surealis, bahkan absurd.. Jika ada yang bagus tapi masih bolong-bolong, langsung saya tangani. Nongkrong bareng di depan komputer. Alhamdulillah. Hingga tahun 2007 kelas menulis Rumah Dunia sudah meluncurkan antologi cerpen:

1. Kacamata Sidik (kritik sosial politik, Senayan Abadi, 2004)
2. Harga Sebuah Hati (human interest, Akoer, 2005)
3. Padi Memerah (kritik sosial, MU3, 2005)
4. Masih Ada Cinta di Senja Itu (Senayan Abadi, 2005)
5. Dongeng Sebelum Tidur (Gramedia, 2006)
6. Pelangi Jatuh di Kotaku (kritik sosial politik, 3 Serangkai, 2008)

Saya juga mengenalkan kepada mereka, agar memahami target pembaca yang akan dibidik. Ini memang amat melelahkan. Tapi, kalau ingin membantu proses regenerasi memang harus begitu. Pada awal 2005 (Januari) nanti, saya sudah mengajak Qizink dan Ibnu menjadi editor awal untuk membacai cerpen-cerpen yang masuk dari peserta kelas menulis. Jadi, saya tidak akan menerima cerpen mentah. Mereka dulu yang nyeleksi cerpen itu, terutama dari pengunaan tanda bacanya. Proses revisi ada di mereka. Setelah 90%, baru ke saya untuk finishing touch.

Begitulah yang saya maksud dengan harus sabar kalau ingin jadi penulis. Ada proses dan prosedur yang harus dilewati. Dua tahun waktu yang ideal. Tapi, setahun bisalah jika mereka bekerja keras; menulis, revisi, menghadiri diskusi, launching dan bedah novel, dan tentu saja membaca. Dengan melewati itu, percayalah, kelak akan muncul para penulis yang konsisten dan tahan lama, bukan instan atau karbitan.

Produk-produk dari “Kelas Menulis Rumah Dunia” itu tak bisa dilepaskan dari biaya operasional atau uang kas Rumah Dunia. Selain dari zakat perseorangan, dari produk-produk antoloji cerpen dan novel perorangan itulah, kas Rumah Dunia kecipratan rezeki. Terutama untuk dana Program 2005. Jika sebuah antoloji cerpen diterbitkan, 50% royalti/honorarium penulis disumbangkan ke Rumah Dunia. Sedangkan untuk novel perorangan, cukup 25% saja. Pada tutup tahun ini, alhamdulillah, kami menyisihkan sedikit rupiah dan berhasil menyicil motor (dinas Rumah Dunia) untuk operasional. Kami mesti menyicil selama 18 bulan. Insya Allah, akan teratasi.
Dana “Program 2005 Rumah Dunia” ini tidak dipakai untuk biaya makan para volunteer, tapi murni untuk kegiatan, yang difokuskan pada penembangan bakat anak-anak (siswa), pemuda (siswa, pelajar, dan mahasiswa) Banten, yang ingin maju tapi tertindas dan terpinggirkan secara ekonomi.

CINTA
Percayalah, membangun Banten itu tidak perlu dengan sok tau ikut-ikutan mengurusi masyarakat dengan cara merasa berhak mengambil dana APBD. Biarlah itu urusan para birokrat dan pejabat di pemerintahan. Mereka ‘ kan kita bayar untuk mengurusi kita. Kami melakukan kegiatan dalam bentuk partisipasi masyarakat dengan rasa cinta dan keikhlasan untuk berbagi.

Tulisan John Gerassi tentang Che Guevara di biografi “Che Guevara, Revolusi Rakyat” (Teplok) perlu disimak, “Cinta tidak mungkin ada diantara tuan dan budak. Bahwa hubungan tuan-budak harus dihancurkan. Che tahu, bahwa sekali dihancurkan, hubungan yang baru – cinta — tidak tumbuh dengan sendiirnya. Cinta tidak keluar dari perbuatan dari atas. Ia datang dari akar, rakyat, bekerja di dalamnya dari bawah. Cinta bukanlah kilatan cahaya atau sebuah peristiwa mistik yang berlangsung cepat. Ia adalah sebuah upaya. Ia merupakan sesuatu yang bisa dibangun manusia dengan cara bekerja padanya. Sebelum masyarakat bisa bekerja pada cinta mereka dan merasa senang dengan kegembiraan orang lain, merasa puas dengan memuaskan orang lain, mereka terlebih dulu harus mampu berkomunikasi dengan maksud mereka sederajat. Orang kaya yang “mencintai” orang miskin adalah penawaran belaskasihan bukan cinta. Dia yang ingin menjadi generasi cinta terlebih dahulu harus menghancurkan generasi benci, yang didukung oleh orang-orang serakah, orang yang serba tahu dan oleh para majikan.”

Nah, Rumah Dunia dibangun berdasarkan cinta dari para volunteernya, dari orang-orang di sekitarnya, dari rakyat yang tertindas dan yang terpinggirkan. Kami bekerja pada “cinta” itu sendiri. Kami bahkan memposisikan diri sebagai pelayan bagi rakyat. Tapi, kami tidak mengatasnamakan siapapun, kecuali pada sebuah generasi baru yang kritis, cerdas, dan siap melawan kebatilan yang terjadi di Banten lewat pena! Maka, orang-orang yang selalu menggerogoti kekayaan Banten untuk dirinya dan kepentingan sekelompok orang, bersiap-siaplah menghadapi pena kami!
***

Rumah Dunia, Desember 2004 – 27 Juni 2007
www.rumahdunia.net
www.keluargapengarang.wordpress.com
www.golagong.com
www.bantenstar.wordpress.com

3 Responses to "KELAS MENULIS RUMAH DUNIA"

thanks mas..
tulisan ini menjadi motivasi untuk terus belajar nulis. Semoga ‘suhu’ panjang umur bisa ngajarin terus..
tunggu kejutan dari ana..

makasih sudah berkunjung ke sini.
semoga semangat ya.
saya di hotel sifyan, Sabtu, 8 September 2007, pukul 09.00.
gg

Leave a comment

YanG BerkunjuNG :

  • 193,213 hits

LaCi MejA :

ALmanaK DindinG :

June 2007
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930  

RUMAH KITA

Aku taburkan rumput di halaman belakang di antara pohon lengkeng dan mangga sudah tumbuhkah bunganya? aku ingin menaburkan sajak di jalan setapak di seberang istana merpati yang tak pernah terkurung karena aku dan kamu selalu ingin melayang jauh melihat angkasa dan bintangbintang dari atap rumah kita aku akan ceritakan kelak pada anakanak tentang matahari bulan laut gunung pelangi sawah bau embun dan tanah aku ajari anakanak mengerti hijau rumput warna bunga dan suara

BUKU-BUKU TERBARU GOLA GONG: Cinta-Mu Seluas Samudra (Mizania), The Journey (Maximalis, Salamadani), Musafir (Salamadani), Nyesel Gak Nulis Seumur Hidup (Salamadani), Ini Rumah Kita Sayang (GIP), Menggenggam Dunia (Dar! Mizan), Labirin Lazuardi (Tiga Serangkai)

KaTA MakNA

Hidup adalah Perjalanan Panjang Menuju Tempat Abadi di Sisi-Nya. Tak ada ujungnya. Maka bertebaranlah di muka bumi dengan berbuat kebaikan. Berbagilah dengan sesama, penuh kasih sayang. Sebarkanlah setiap tetes ilmu yang kita miliki. Lawanlah kebatilan yang menelikung dengan yang kita mampu. Pena adalah senjata dari perlawanan itu. Mengalirlah setiap kata dari hati kita lewat senjata pena! Setiap kata penuh makna akan mengisi setiap jiwa luka. Menggeliatlah kita dengan senjata pena menuju matahari terbit. Dengan senjata pena, kita akan berdiri tegak; melahirkan generasi kuat di negeri ini. Negeri yang dihuni para tunas bangsa yang memiliki identitas dan jati diri: anak-anak negeri ini yang bangga akan kebudayaan negerinya. Ingatlah: MENJADI BERGUNA JAUH LEBIH PENTING DARI SEKEDAR MENJADI ORANG PENTING!

PopuLeR

  • None

FoTO-fotoKU