KELUARGA PENGARANG

[Mesir Diary #1] KOTA PENUH DEBU NAN EKSOTIS

Posted on: June 26, 2007

mesir-1.jpgCatatan Perjalanan oleh Gola GongSaya datang ke Mesir ats undangan KBRI (Atase Pendidikan dan Kebudayaan) bekerjasama dengan PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahsiswa Indonesia) dan ICMI Orsat Cairo, dalam acara “Pengembangan Potensi dan Karya di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Mesir”, 6 Juli – 14 Juli. Forum Lingkar Pena Mesir sebagai supporting. Sedangkan Keluarga Mahasiwa Banten menyusup. Mereka pernah juga mengundang Ahmadun Yossy Herfanda, Helvy Tiana Rossa, dan Asma Nadia. Kali ini saya bersama Pipit Senja, Irwan Kelana (wartawan Republika), dan ustad Faudzil Adhim.

HAMPIR BATAL
Kami berangkat Selasa (5/7), jam 19.00 WIB, memakai pesawat SQ (Singapra Airlane) 163. Transit di Changi, Singapura (jam 22.00 waktu setempat) dan di Doha, Irwan mulai mengatur strategi perang jurnalisnya, menyuruh saya dan Cak Adhiem bersalaman di koridor mall Changi. Irwan menganggap, pertemuan saya dan Cak Adhim mesti didokumentasikan. “Ini sangat menarik,” kata Irwan. “Dua penulis yang saling membaca dan mengagumi karyanya, bertemu di perjalanan Jakarta – Kairo.” Irwan sepanjang perjalanan selalku mengatakan, bahwa perjalanan ini sangat menarik. “Tiga penulis yang berpengaruh di Indonesia, berada satu pesawat di sini. Sebagai wartawan, ini berita bagus.”

Sebetulnya perjalanan ke Kairo, Mesir, ini hampir batal. Saya sedang banyak pekerjaan di kantor (RCTI – pen). Juga Tias baru saja melahirkan serta Bella mesti daftr ulang di kelas tiga dan Abi kini di di SDN 3 Serang, kelas 1. Tahun ajaran baru, tahun pengeluaran uang yang cukup banyak. Apalagi ketika masalah dana jadi kendala. Tapi, ketika Teh Pipit mengingatkan saya, bahwa betapa para panitia di Kairo sudah jungkir balik sejak setahun yang lalu, saya jadi berpikir 1001 kali. Betapa saya sudah sombong, jika menolak undangan saudara-saudara saya di Kairo. Saya bilang ke panitia lewat SMS, “Saya sedang tidak punya uang. Tolong honor dibayarkan dimuka saja.” Tapi, SMS balasan dari Suhartono (Presiden PPMI) cukup mengagetkan juga, “Mohon maaf, honornya tidak ada.” Saat itu saya sedang dalam perjalanan menuju bandara. Saya mencoba merekonstruksi perjalaan ke Mesir ini. Dalam hati saya berkata, “Mengabarkan tentang Rumah Dunia, dengan visi-misi saling berbagi lewat cinta dan ilmu adalah bagian dari ibadah juga.” Lalu saya membalas SMS Suhartono, “Tidak apa-apa. Yang penting semuanya jelas di awal.” Sejak saat itu, saya tidak mengharapkan lagi honor. Saya hanya akan datang ke Mesir, berbagi cinta dan ilmu, serta mencoba mengunjungi bebrapa tempat bersejarah. Di bandara, kartu kredit saya gesek untuk bekal alakadarnya dan fiskal sebesar 1 jt perak.

Saya utarakan pada Teh Pipit yang disponsori Penerbit GEma Insani, Irwan, dan Cak Adhim, bahwa tidak akan ada honor. Teh Pipit menenangkan saya, bahwa fiskal nanti akan diganti panitia. Saya merasa senang mendengarnya. Tapi, ketreusterangan saya kepada panitia untuk menanyakan soal honor di awal sangatlah penting. Jika ada, bagus. Tidak ada, saya harus mengeluarkan “plan B”. Jadi, asik-asik sajalah.

SHOLAT DI PESAWAT
Sekitar jam 03.00 waktu setempat, pesawat transit di Doha, Dubai. Kami menyusuri bandara. Diperiksa sana dan sini. Digeledah. Ini prosedur yang harus dijalani. Dalam hati, saya selalu cemas melihat Teh Pipit Senja, yang sesekali mengatakah kepalanya pening atau perutnya mual. Wanita perkasa yang selalu mengganti darahnya setiap bulan, jadi perhatian extra kami. Jangan sampai Teh Pipit sakit. Sejam kemudian, pesawat mengangkasa lagi, menuju jazirah Arab, menyeberangi laut Merah.

Sekitar jam 05.00, saya melhat garis di langit timur keemasan. Saya diajak Cak Adhim sholat Subuh di atas pesawat. Tanpa saya duga, pramugara memberikan tempat di belakang, di depan toilet. Selimut bersih jadi sajadah. Cak Adhim jadi imam. Gorden ditutup dan toilet diposisikan occupied, sedang dipakai. Saat sholat, saya tidak bisa khusu. Saya merasa, betapa kecil saya ini saat terapung di angkasa raya. Bagaimana jika pesawat ini jatuh? Bagaimana jika saya mati? Bagaimana nasib Tias dan keempat anak kami nanti? Usai sholat, Cak Adhim menyalami pramugara dan mengucapkan terima kasih serta sangat terkesan dengan pelayanan maskapai Singapura.

Saat saya duduk kembali, saya tersadar. Tadi saya sholat dengan imam Cak Adhiem, yang tulisannya menyihir jutaan pembaca. Buku terbarunya; Inspiring Words for Writers, sedang saya baca selama dalam penerbangan menuju Kairo. Cak Adhim memang sangat piawai mengolah kata, sehingga menyihir para pembacanya. Kemudian saya melihat di layar monitor, pesawat sudah berada di langit Arab Saudi. Pesawat berada di ketinggian 6000 meter, di atas gerombolan awan putih yang menyerupai biri-biri. Penumpang banyak yang turun di Doha, Dubai. Saya pindah ke sisi kanan, dekat jendela. Saya melihat ke bawah, hamparan bumi dengan kontur tanah coklat tua dan muda serta garis-garis membentuk lingkaran, setengah lingkaran dan garis memanjang. Saya jadi teringat film English Patient”. Di awal film digambarkan keindahan kontur padang pasir dari atas pesawat. Saya merasakan keindahan itu.

Tidak lama, pesawat melintasi Laut Merah yang terkenal itu, yang pernah dibelah oleh tongkat Musa. Kapal-kapal masih menyalakan lampunya. Tak begitu ramai lalu-lintas kapal. Mereka menuju ke utara, terusan Suez. Sudah jam 05.50 waktu setempat. Tinggal 15 menit lagi pesawat mendarat di Kairo, Mesir.

Saya membayangkan Kairo kotanya seperti kotak-kotak kubus, berkelompok, menjulang ke atas, serta berwarna kecoklatan akibat debu. Tidak akan gemerlap atau silau karena cahaya matahri memantul lewat kaca-kaca jendela gedung seperti di Jakarta. Ternyata tebakan saya tidak meleset. Setelah melewati bukit-bukit dan gurun, pesawat menukik dan terbang di langit Kairo, Mesir. Saya melihat kota yang dihuni oleh bangunan menjulang sekitar 6 atau 7 lantai. Kubus-kubus yang indah ditata di antara hamparan pasir. Saya seolah melihat istana pasir saat bermain rumah-rumahan di pantai bersama kedua anak saya. Kotak-kotak flat yang berwarna coklat, klasik. Enak dipandang mata, tidak silau seperti khas kota metropolis. Memang untuk mata beberapa penumpang, terkesan kusam. Tapi, bagi saya, warna coklat yang menempel di bangunan-bangunannya sangatlah eksotik.

DISANGKA TERORIS
Jam 06.15 waktu Kaior, pesawat mendarat mulus. Lapangan terbang New Cairo Airport luas dan datar. Tidak mewah. Seperti pangkalan militer saja. berbeda dengan Changi, Singapura atau Doha, Dubai, yang glamour dan menjebak orang untuk belanja, belanja, dan belanja. Bandara Cengkareng juga masih lebih baik. Saat chek out, saya merasakan bangunan dan arsitekturnya masih berbau koloni Perancis. Tak terasa sentuhan arsitektur modern. Sangat Eropa dan enak dipandang. Mata tidak sakit melihatnya. Hanya saja, saat pemeriksan paspor, sistem tidak berjalan secanggih di Singapura dan Dubai. Itu terjadi ketika Cak Adhim diperiksa paspor. Ustad dipisahkan dan disuruh menunggu sekitar 15 menit. Mungkin karena jenggotnya yang mengesankan seperti teroris.

Peristiwa ini lucu juga. Pada saya terjadi di bandara Cengkareng. Pipit Senja, Irwan Kelana, dan Cak Adhim boleh melenggang saat diperiksa di gate D 23. Tapi justru saya dipreiksa extra oleh petugas. Tas selendang saya digeledah. Bagi saya hal ini tidak aneh. Saya sering mendapat perlakuan diskriminasi seperti ini di setiap tempat seperti bank, bandara, atau kantor-kantor instansi. Bagi saya, hal ini manusiawi saja. Mereka sedang menjalankan tugasnya. Alhamdulillah, akhirnya semua lancar. Cak Adhim dibebaskan. Tas-tas sempat dibongkar, tapi ketika tahu kami tamu kedutaan dan kami semua penuils, mereka mempersilahkan kami keluar. Tas Teh Pipit sempat dibuka dan diobrak-abirk. Petugas Cuma nyengir ketika melihat “woman thing’s” milik Teh Pipit. Ketika koper berisi seratus limapuluhan buku Teh Pipit (Meretas Ungu dan Jendela Cinta) dibongkar, petugas mengangguk-angguk. Dia cykup terkesan juga dengan profesi penulis.

Di lobbi, staff KBRI Cairo datang menjemput. Bahkan Slamet Soleh, Atdikbud KBRI Kairo datang mengjemput kami. Beberapa mahasiswa Kairo juga. Suhartono (Presiden PPMI), M. Nasih (Ketua Panitia), Dali Perdana (Protokoler), Neng Sauzan (Protokoler), Ernawati (Protokoler), dan Mutawali (Protokoler). Kami menaiki mobil KBRI yang disupiri oleh mukhlason (staff Dikbud), sementara barang-barang kami diangkut dengan van yang disupiri oleh Siraj.

Di dalam perjalanan menuju “Wisma Nusantara”, jalur mobil berada di kanan, stirnya di kiri. Dari kaca jendela mobil, saya merasakan Kairo adalah kota yang tua dan masyarakatnya sangat mencintai. Lembaran pertama dari buku sejarah Kairo, yang jumlahnya bisa mencapai ribuan, sedang saya buka dan baca. Saya tidak melihat postkolonialisme terjadi di sini, yang kadang itu terwakili dengan penghancuran gedung-gedung berarsitektur kolonialnya. Gedung-gedung tua dan beresjarah dirawat dengan baik. Negeri koloni Perncis ini sangat menghargai sejarah, karena mneurut mereka itu adlah bagian dari kehidupan juga. Di Jakarta dan Bandung, banyak gedung berarsitektur Indies atau art deco dihancurkan, diganti dengan gedung metropolis dan bikin mata silau karena efek kacanya. Tapi di sini, bangunan-bangunan khas Eropa; art deco, dibiarkan hidup berdampingan dengaqn gedung modern. Tapi, tetap saja enak diupandang. Saya melihat gothic dan art deco berjejer. Bahkan taksi-taksi merek Fiat dan Peguot tahun 70-an berkeliaran, tanpa AC, yang sebetulnya sudah seperti mobil rongsokan, tetap bersliweran ibarat para pelaku sejarah Mesir. Kesannya sangat eksotik dan klasik.

Sepanjang perjalanan, dari kaca jendela saya melihat warna bangunannya, kenapa tidak dicet dan dibiarkan asli abu-abu semen atau kecoklatan karena debu. Menurut Slamet Soleh, itu sudah khas. “Di sini sering terjadi badai debu, karena Kairo berada di tengah gurun. Jadi, bangunna-bangunan di sini sengaja tidak dicet. Tapi interiornya, jangan tanya! Bagus-bagus.”

Perjalanan menuju “Wisma Nusantara” sekitar setengah jam. Wisma ini dulu milik ICMI Orsat Kairo. Sekarang dikelola oleh PPMI. Ada 5 lantai. Setiap latai diisi oleh banyak kegiatan. Lantai satu untk telekomunikasi; wartel dan warnet, aula wisma untuk meeting, kantin murah masakan Indonesia, serta kantor PPMI. Lantai 2 penginapan untuk para tamu sekitar 5 kamar dengan 4 kamar mandi. Permalamnya US$ 10 (1 dollar = 58 poun. 1 Pound = 1600 perak), jadi sekitar Rp. 100.000,- Di lantai 3 kantor ICMI dan penginamapan pengurus wisma. Lantai 4ada banyak ruang sekretariat UKM; WIHDAH (Organisasi mahasiswa perempuan Indonesia independen), redaksi buletin indepneden TEROBOSAN, yang selalu mengkritik dan mengontrol kinerja KBRI dan prilaku mahasisw Indonesia, kantor MPA (Majelis Permusyawraan anggota) PPMI, dan BWAKM (Badan Wakaf Amil Kegiatan Mahasiswa), yang mendristribusikan bantuan zakat buat mahasiswa yang kurang mampu. Lantai 5 perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK).

Saat masuk ke kamar untuk beristirahat, saya berbisik, “Kairo kota berdebu, tapi eksotik!” (bersambung)

*) Bagaimna petualangan saya di Kairo? Apakah betul panitia tidak memberi honor? Tunggu laporan berikutnya…. ***

*) Keterangan Foto: Saya, Cak Adhim dan Pipit Senja transit di bnadara Changi, Singapura. Irwan Kelana jadi mat kodaknya.

1 Response to "[Mesir Diary #1] KOTA PENUH DEBU NAN EKSOTIS"

nice story bro..

Leave a comment

YanG BerkunjuNG :

  • 193,193 hits

LaCi MejA :

ALmanaK DindinG :

June 2007
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930  

RUMAH KITA

Aku taburkan rumput di halaman belakang di antara pohon lengkeng dan mangga sudah tumbuhkah bunganya? aku ingin menaburkan sajak di jalan setapak di seberang istana merpati yang tak pernah terkurung karena aku dan kamu selalu ingin melayang jauh melihat angkasa dan bintangbintang dari atap rumah kita aku akan ceritakan kelak pada anakanak tentang matahari bulan laut gunung pelangi sawah bau embun dan tanah aku ajari anakanak mengerti hijau rumput warna bunga dan suara

BUKU-BUKU TERBARU GOLA GONG: Cinta-Mu Seluas Samudra (Mizania), The Journey (Maximalis, Salamadani), Musafir (Salamadani), Nyesel Gak Nulis Seumur Hidup (Salamadani), Ini Rumah Kita Sayang (GIP), Menggenggam Dunia (Dar! Mizan), Labirin Lazuardi (Tiga Serangkai)

KaTA MakNA

Hidup adalah Perjalanan Panjang Menuju Tempat Abadi di Sisi-Nya. Tak ada ujungnya. Maka bertebaranlah di muka bumi dengan berbuat kebaikan. Berbagilah dengan sesama, penuh kasih sayang. Sebarkanlah setiap tetes ilmu yang kita miliki. Lawanlah kebatilan yang menelikung dengan yang kita mampu. Pena adalah senjata dari perlawanan itu. Mengalirlah setiap kata dari hati kita lewat senjata pena! Setiap kata penuh makna akan mengisi setiap jiwa luka. Menggeliatlah kita dengan senjata pena menuju matahari terbit. Dengan senjata pena, kita akan berdiri tegak; melahirkan generasi kuat di negeri ini. Negeri yang dihuni para tunas bangsa yang memiliki identitas dan jati diri: anak-anak negeri ini yang bangga akan kebudayaan negerinya. Ingatlah: MENJADI BERGUNA JAUH LEBIH PENTING DARI SEKEDAR MENJADI ORANG PENTING!

PopuLeR

  • None

FoTO-fotoKU